Apakah Keadilan Sosial hanya Untuk Mereka Yang memiliki Jabatan? -->

Advertisement

Apakah Keadilan Sosial hanya Untuk Mereka Yang memiliki Jabatan?

BlackEye
Sabtu, 01 Mei 2021

Hey ucrakers, keadilan sosial untuk mereka yang mempunyai pengaruh di sebuah organisasi anonimus bernama kesejahteraan, sampai saat inipun masih berkelangsungan. Sedang di mata publik kesejahteraan yang menusung kepentingan umum pun, masih abu-abu. Yang artinya kita sebagai masyarakat kelas nomor dua, masih berada jauh dibawah garis kenyataan yang mereka gembar-gemborkan lewat media yang mereka kuasai.

Adanya andil peran media yang seharusnya sebagai tempat mediasi segala kepentingan, masih luput dari keberagaman kepentingan. Dari urusan perut sampai isi dompet. Ketelanjangan yang ditampilkan di muka, cukup menjadi rekayasa para elit yang memiliki pengaruh. Sangat ironis memang, namun inilah kenyataan daei kenyataan yang nampak.

Aku membicarakan ini bukan hanya di global keseluruhan, namun ditempat ku bernaung pun demikian halnya. Pihak yang berwenang antara majikan dan buruh pun, di selimuti gumpalan awan mendung yang sukar ditembus. Antara lain, kesenjangan upah yang diberikan ke direksi dan karyawan lapangan. Itu senjangan yang harus ditelan mentah-mentah.

Ada hal yang lebih dangkal, di dunia perburuhan adalah hitam dan putih. Dimana kaum buruh diberdayakan semaksimal mungkin, sedang kesejahteraan di level tertinggi diberadabkan sesuai keadailan sosial bagi seluruh buruh yang mempunyai kewenangan untuk menentukan keputusan.

Ketika ada sesuatu hal yang tidak berkesesuaian maka, hak karyawan rendahan yang ditempeleng dengan cara yang paling tidak manusiawi. Bisa diambil contoh, saat pandemi seperti saat ini. Para direksi masih mampu tersenyum manis, berbanding terbalik dengan kodrat kami kaum buruh yang dirumahkan. Itulah sebabnya, saat pandemi ini berakhir apakah masih akan seperti sediakala? Sebuah pertanyaan yang sukar ditebak, oleh kaum kelas nomor dua.

Kebersyukuran mencoba kami tiupkan atas dasar imbas kesewenangan peraturan pemerintah. Karena memang selamat dari tidak ada kegiatan yang benar-benar ditutup. Sangat sukar buat kami bernafas lega. Biaya produksi macet dimana-mana, kerja juga tak kunjung diberdayakan. Membuat perusahaan kalang kabut. Namun, permasalahan nya kenapa harus ada kesenjangan antara orang kantor dengan karyawan rendahan?

Dan kebetulan yang ketidaksengajaan lupa bahwa pemilik keputusan juga hanya buruh yang didudukkan di balik meja dan ruang berAC. Menindaklanjuti perut lapar bersuara meminta diisi sesuap nasi bukan sesuap janji. Sebab itu, keberadaan nafsu memaki pada tatanan yang masih bercokol, tidaklah sebuah kesalahan.

Seperti pertandingan sepakbola, dimana suporter lebih ramai dan lebih seru daripada mereka yang berada di arena permainan. Sebab di dalam lapangan, mereka tau itu hanya sebuah permainan belaka. Sedang mereka yang berada diluar pertandingan, merasa itu urusan hidup dan mati. Dan itulah yang dinamakan "suatu gengsi" yang juga berarti adalah harga diri. Sedemikian hingga, masyarakat kelas bawah adalah dianggap sebagai supporter belaka. Yang hanya tau di mata, tanpa tau rahasia besar dibalik pertandingan.

Mudah saja, skalanya hanya terbatas antara dinding keringat yang bau dengan badan wangi parfum. Hal itu sudah menjadi pembeda antara tebal tipisnya saku seseorang.

Semua mengalir seperti air, tanpa membendung dan mendorong. Karena keyakinan sebuah perubahan akan keberadilan yang hakiki yang dilandasi dengan niat baik antara hulu dan hilir.