Kata kata Rahwana pada kekasihnya, Shinta
Rahwana, Shinta dan Masa lalu. |
Lantas dirimu bergumam mengajak ku berdansa. Bukan lagu dandang gulo namun lagu botol coke dari agnes mo. Dan bukan lagi tari gambyong, namun menuntunku untuk breakdance. Engkau sangat lincah, meski tetap memakai 'kemben'. Aku takjub, kekasih ku.
Lalu, masih terengah-engah kau lepas tubuhmu di pelukan ku. 'Kakanda Rahwana, jika hidup ini tidak perlu uang, maka dunia ini senikmat sebotol coke', lantas kau terkekeh, memamerkan gigi putih mu nan rapi. Sedang aku hanya bisa manggut tanda setuju.
Seketika saja aku ingat, kejadian di pertengahan tahun 98 '. Banyak hal yang kita lalui dan mengajarkan tentang kehidupan. Tentang kepahitan, atau tentang rasa tak percaya Alengka ini akan runtuh, lebur menjadi satu dengan debu jalanan. Lalu kau menawariku sebotol CocaCola, yang produk dari Amerika itu! Meski pabriknya ada di dekat kontrakan kita.
Di tahun kelam, di awal sebuah rezim orde baru yang diperbarui, kita menjalani seperti gelembung-gelembung soda di tengah ketidak pastian, sungguh aku masih ingat itu Shinta.
Tak terasa, senja pun tiba. Matahari yang tadi menjilat hangat menjadi temaram lagi, Shinta. Kupapah engkau, menuju pelataran alun-alun selatan magelang. Tempat dimana kita menikmati hangatnya wedang ronde di pojok alun alun.
Kita memandang, 'seliweran' kendaraan bermotor. Dan kau menawari sebingkis cerita mu. Aku memandang bibir tipis mu.
'Dulu, ditanah ini pernah lahir seorang satrio piningit, seorang yang gagah bernama rama putra Dasarata. Ia pernah memimpin sebuah kerajaan bernama ayodya'
Sekejap kau termenung, seolah olah mengingat ingat sesuatu. Diminumlah wedang ronde dalam dalam, seolah ingin menangkap selaput biru di alam memorimu. Lalu kau mulai lagi berkisah.
'Rama pernah meminangku, namun aku tolak. Kau tau kenapa, kakanda Rahwana?'. Aku pelan menggeleng, kemudian engkau ceritakan risalah pilu yang tak pernah akan engkau lupakan, Shinta. Tentang peringai dan watak yang semena-mena pada rakyat jelata, lalu tentang terang-terangan menantang perang pada Ayahandamu, saat engkau menolak pinangan nya.
Aku hanya bisa diam, shinta. Bukan aku tak peduli, atau tak enak hati. Namun dari semburat sinar wajah ayumu, menunjukkan agar aku tetap diam dan mendengarkan kisah mu.
Kemudian, tanpa sadar dingin malam begitu menusuk tulang tulang kita. Dan kita putuskan untuk kembali ke penginapan saja malam itu. Di hotel niagara ini sapuan warna keraguan, menjelma menjadi terang benerang. Seperti hati kita yang selalu bersinar saat kita bersama-sama menikmati segala waktu.
Di kamar hotel ini, kita memadukan kisah sedih masa lalu mu dengan kisah kita. Seperti tak kenal malu pada selimut dan kamar hotel, aku mendekap tubuh indahmu diantar cemerlangnya lampu lampu hotel.